Merangkap jabatan nampaknya sudah menjadi budaya di negara ini. Tak hanya menghemat biaya tapi organisasi-organisasi yang dipimpin akan menjadi seragam. Rangkap jabatan biasanya dilakukan di suatu tempat yang kekurangan sumber daya manusia.
Sayangnya Indonesia adalah negara yang istimewa. Sehingga ketika tersedia sumber daya manusia rangkap jabatan akan tetap terjadi. Entah apa tujuan yang terselip di dalamnya.
Edy Rahmayadi adalah salah satu dari sekian banyak orang yang merangkap jabatan di Indonesia. Edy Rahmayadi adalah ketua umum PSSI ke-16 dan juga presiden klub PS TNI yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara.
Merangkap jabatan bagi dirinya menurut saya adalah hal yang beresiko. Kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini sedang carut marut. Hari ke hari selalu muncul masalah baru. Selain itu sebagai presiden klub Ia juga harus memikirkan masa depan PS TNI yang akan bertanding di kompetisi kasta pertama Indonesia. Belum lagi ia harus mempersiapkan dirinya guna mencalonkan dirinya sebagai gubernur Sumatera Utara.
Wajar jika banyak masyarakat pecinta bola yang meminta Edy untuk mundur dari ketum PSSI. Jelas kita pasti ingin seorang ketum yang fokus dengan satu hal: memperbaiki sepakbola Indonesia dan membawa sepakbola Indonesia lebih maju. Bukan seorang ketum yang sibuk dengan pencalonannya.
Sepengetahuan saya, Edy Rahmayadi adalah orang yang baik, tegas dan optimis. Edy Rahmayadi pasti juga ingin sepakbola Indonesia menjadi lebih baik. Kondisi sepakbola Indonesia yang sedang sakit saja masih belum pulih. Butuh kerja keras dan keseriusan untuk mengembalikan sepakbola Indonesia ke habitat aslinya. Dan itu sepertinya akan lebih sulit lagi jika ketua umum federasi sepakbola kita harus memikirkan klub dan pencalonannya.
Pada 10 November 2016 tepatnya di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara Edy Rahmayadi resmi terpilih sebagai ketum PSSI hingga 2020. Uniknya Edy unggul telak bahkan mengalahkan Kurniawan Dwi Yulianto. Kurniawan adalah mantan pemain timnas yang pernah berjaya di klub eropa. Kurniawan benar-benar memilki pengetahuan sepakbola yang tinggi karena ia juga pernah bermain di berbagai negara. Dengan background seperti itu jika dibandingkan dengan Edy Rahmayadi yang memiliki background tantara jelas seharusnya Kurniawan lah yang terpilih. Namun nyatanya hasil voting mengatakan bahwa Edy Rahmayadi menang telak. Seperti yang telah saya katakan diatas bahwa Indonesia adalah negara yang istimewa.
"Kalau mata duitan, ya repot juga kita. Enggak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulkan segera,"
Ketidakcakapan Edy Rahmayadi terbukti dengan kejadian akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu dua pemain timnas yaitu Evan Dimas dan Ilham Udin resmi dikontrak oleh klub asal Malaysia. Hal itu membuat masyarakat pecinta bola Indonesia bangga karena pemain tersebut diakui kehebatannya oleh Malaysia negara yang menjadi rival Indonesia sejak dulu. Ditambah lagi media asal Malaysia yang menyebutkan Evan Dimas adalah salah satu pemain termahal di negeri jiran itu. Namun tidak bagi Edy Rahmayadi. Ia geram lantaran takut permainan mereka terbaca. Secara logika sebenarnya itu tidak mungkin. Bagaimana bisa dua orang pemain Indonesia menunjukan permainan timnas Indonesia secara kesuluruhan ? Di Indonesia juga banyak pemain dari Belanda, Brazil, dan lain lain. Namun apakah kita bisa membaca permainan mereka ? Mungkin kita semua sepakat untuk berkata tidak.
Dalam sebuah wawancara Edy mengatakan "Kalau mata duitan, ya repot juga kita. Enggak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulkan segera,". Jelas tidak pantas mengecap Evan Dimas dan pemain lain yang akan bermain di luar negeri telah kehilangan jiwa nasionalisme. Mereka justru akan membawa nama baik Indonesia. Atau mungkin Edy Rahmayadi menyamakan pemain sepakbola dengan tantara ?
Imbasnya mucul kecurigaan dari masyarakat. Mereka saling menuduh hal yang tidak baik. Mereka kini membenci federasi sepakbolanya. Esensi sepakbola telah hilang. Sepakbola Indonesia seperti sudah tidak nikmat lagi.
PSSI awalnya diciptakan oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo yang ingin mengejawantakan isi dari butir-butir kesepakatan para pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ketika itu, Soeratin melihat bahwa sepakbola dapat menjadi wadah terbaik untuk menyemai rasa nasionalisme di kalangan para pemuda. Sebagai sarana untuk berjuang menentang penjajah. (Pamungkas, 2014:222) Sampai akhirnya pada 1930 PSSI dibentuk dengan Ir. Soeratin sebagai ketum pertama.
Saat ini rasanya semangat Ir. Soeratin telah hilang. PSSI yang awalnya dibentuk untuk mempersatukan para pemuda kini malah menjadi objek tuduhan yang tidak baik. PSSI sekarang sudah berbalik keadaanya dibanding PSSI 87 tahun yang lalu. Semangat menggapai prestasi dinodai dengan masalah di dalam tubuh PSSI.
Memang terlalu dini untuk menghakimi Edy Rahmayadi yang baru memimpin PSSI selama satu tahun. Masih ada tiga tahun lagi masa jabatan Edy Rahmayadi. Namun menurut saya merangkap jabatan tetaplah hal yang tidak benar. Lebih baik Edy Rahmayadi fokus dalam satu hal: menjadi ketum PSSI atau gubernur Sumatera Utara.
Beberapa waktu yang lalu Edy Rahmayadi mengatakan jika dirinya terpilih sebagai gubernur Sumatera Utara -masa jabatan 2018-2023- maka Ia tidak akan mundur dari PSSI. Ini beresiko karena jika ia terpilih artinya selama 2018-2020 Ia menjadi ketum PSSI sekaligus gubernur.
Entah bagaimana nasib sepakbola Indonesia selama 2 tahun tersebut. Kami pecinta sepakbola menaruh harapan besar pada Edy Rahmayadi. Kami semua berdoa untuk Edy Rahmayadi. Semoga mampu membawa sepakbola Indonesia lebih maju.
Pamungkas, Bambang .BEPE20 : PRIDE. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2014. Cetak.
KEAJAIBAN EDY RAHMAYADI : TIDAK HANYA SATU TAPI TIGA !
Reviewed by Nuha Maulana
on
Desember 15, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: